Bencana tsunami yang terjadi di Aceh masih menyisakan duka mendalam untuk banyak orang terutama untuk warga Aceh.
26 Desember 2004 silam, gempa bumi bawah laut 9,1 Skala Richter (SR) mengguncang Samudera Hindia di lepas pantai Sumatera Utara, Indonesia.
Dampak gempa itu sangatlah kuat sampai 1.200 kilometer dari pusat gempa, hingga mencapai Alaska.
Gempa dahsyat tersebut memicu terjadinya tsunami yang mematikan.
Tsunami menyapu sejumlah pantai di Samudera Hindia hingga ketinggian 30 meter. Termasuk Aceh.
Semua luluh lantak, lebih dari dua ratus ribu nyawa berjatuhan.
Kedua orang tua dari Mawardah Priyanka, juga menjadi korban dalam bencana tersebut.
Seorang wartawan BBC, bernama Andrew Harding, yang saat itu sedang bertugas di Aceh, bertemu pertama kalinya dengan Mawardah.
Dikutip dari laman BBC Indonesia pada Desember 2014 silam, Andrew menceritakan kembali kisahnya saat pertama kali dengan Mawardah.
"Di tenda darurat pengungsi yang didirikan dekat masjid, saya pertama kali bertemu dengan Mawardah Priyanka. Saat itu dia berusia 11 tahun, kelelahan, sangat kotor, dan sendirian.
Kedua orangtuanya meninggal karena gelombang tsunami - yang diperkirakan setinggi 35 meter - menimpa rumah mereka di desa di pesisir Lampuuk.
Beberapa hari kemudian dia menemukan kakaknya, Mutiyah, 16 tahun, ditemukan masih hidup.
Dalam beberapa bulan selanjutnya, saya tetap saling berkabar dengan dua bersaudara tersebut selagi mereka pindah ke tenda pengungsian, lalu ke tenda mereka sendiri, dan kemudian ke rumah baru yang dibangun oleh lembaga amal Oxfam.
Mawardah kembali ke sekolah.
Adapun Mutiyah menikah dan pindah. Kakak mereka yang lebih tua, Ita, pindah ke rumah mereka di Lhoknga.
Tetapi, delapan tahun kemudian, saya kehilangan kontak mereka.
Sulit bagi saya untuk menentukan arah ketika saya berjalan di tempat yang dulu sangat berlumpur.
Sekarang di tempat itu ada jalan raya, dengan jembatan baru di atas sungai kecil.
Di sebelah kanan, saya melihat bangunan rumah - sangat sederhana, berdinding kayu dan beratap seng.
"Di tenda darurat pengungsi yang didirikan dekat masjid, saya pertama kali bertemu dengan Mawardah Priyanka. Saat itu dia berusia 11 tahun, kelelahan, sangat kotor, dan sendirian.
Kedua orangtuanya meninggal karena gelombang tsunami - yang diperkirakan setinggi 35 meter - menimpa rumah mereka di desa di pesisir Lampuuk.
Beberapa hari kemudian dia menemukan kakaknya, Mutiyah, 16 tahun, ditemukan masih hidup.
Dalam beberapa bulan selanjutnya, saya tetap saling berkabar dengan dua bersaudara tersebut selagi mereka pindah ke tenda pengungsian, lalu ke tenda mereka sendiri, dan kemudian ke rumah baru yang dibangun oleh lembaga amal Oxfam.
Mawardah kembali ke sekolah.
Adapun Mutiyah menikah dan pindah. Kakak mereka yang lebih tua, Ita, pindah ke rumah mereka di Lhoknga.
Tetapi, delapan tahun kemudian, saya kehilangan kontak mereka.
Sulit bagi saya untuk menentukan arah ketika saya berjalan di tempat yang dulu sangat berlumpur.
Sekarang di tempat itu ada jalan raya, dengan jembatan baru di atas sungai kecil.
Di sebelah kanan, saya melihat bangunan rumah - sangat sederhana, berdinding kayu dan beratap seng.
"Di tenda darurat pengungsi yang didirikan dekat masjid, saya pertama kali bertemu dengan Mawardah Priyanka. Saat itu dia berusia 11 tahun, kelelahan, sangat kotor, dan sendirian.
Kedua orangtuanya meninggal karena gelombang tsunami - yang diperkirakan setinggi 35 meter - menimpa rumah mereka di desa di pesisir Lampuuk.
Beberapa hari kemudian dia menemukan kakaknya, Mutiyah, 16 tahun, ditemukan masih hidup.
Dalam beberapa bulan selanjutnya, saya tetap saling berkabar dengan dua bersaudara tersebut selagi mereka pindah ke tenda pengungsian, lalu ke tenda mereka sendiri, dan kemudian ke rumah baru yang dibangun oleh lembaga amal Oxfam.
Mawardah kembali ke sekolah.
Adapun Mutiyah menikah dan pindah. Kakak mereka yang lebih tua, Ita, pindah ke rumah mereka di Lhoknga.
Tetapi, delapan tahun kemudian, saya kehilangan kontak mereka.
Sulit bagi saya untuk menentukan arah ketika saya berjalan di tempat yang dulu sangat berlumpur.
Sekarang di tempat itu ada jalan raya, dengan jembatan baru di atas sungai kecil.
Di sebelah kanan, saya melihat bangunan rumah - sangat sederhana, berdinding kayu dan beratap seng.
“Ia murid yang baik. Ia bekerja dan belajar keras. Sebagai seorang gadis, ia memiliki semangat seperti anak laki-laki. Ia kuat, dia tidak mudah menyerah,” kata Maulizan Za, guru bahasa Inggris Mawardah, dikutip dari BBC, Rabu (24/12/2014).
Kini di tahun 2016, Mawardah telah berhasil menyelesaikan pendidikannya dan menjadi wisudawati. dengan gelar Sarjana Pendidikan.
Andrew kembali ikut berbangga hati, dan mengucapakan selamat ata pencapaian Mawardah.
Ucapan selamat itu ia utarakan melalui status akun Facebook miliknya yang diunggah pada 22 November 2016 silam.
"So happy for Mawardah Priyanka - the lost, bruised little girl we met in 2004, newly orphaned by the tsunami, graduated today in Banda Aceh! A debating champion, a fluent English-speaker, and an inspiration. Congratulations!!," tulis Andrew sembari mengunggah foto wisuda Mawardah dan fotonya saat pertama kali bertemu Mawardah.
Netizen Indonesia pun memberikan ucapan selamat kepada mawardah dan mengungkapkan kekagumannya pada wartawan BBC tersebut.
"Benar-benar jurnalis yang bekerja dari hati, Andrew memiliki hati yang luar biasa," komentar dari seorang netizen.